Jumat, 08 Februari 2019

A. Tradisi Masyarakat Dayak Kanayant dalam Proses Menanam Padi
  Masyarakat Dayak Kanayatn merupakan masyarakat agraris, yaitu masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari pertanian. Sebagai masyarakat petani, orang Dayak Kanayatn memiliki beberapa tradisi yang berkaitan dengan siklus pertanian selama satu tahun, yang dikenal dengan adat bahuma batahutn. Menurut aturan adat dikenal sejumlah upacara yang dilakukan pada setiap tahapan pertanian. Tahap-tahap pertanian ini dimulai setiap bulan Juni sampai bulan 
April. 
 Adapun urutan upacara yang dilakukan adalah sebagai berikut: 
1. Upacara Nabo’Panyugu Nagari
Sebelum membuka suatu lahan pertanian, pertama-tama seluruh penduduk desa harus meminta ijin bersama-sama dengan cara berdoa diPanyugu (tempat ibadat) ketemenggungan. Agar doa ini terkabul, maka penduduk harus bapantang (menjalankan pantang) selama tiga hari tiga malam. Selama masa bapantang itu masyarakat tidak boleh bekerja, tidak makan daging, pakis, rebung, cendawan, dan keladi. Mereka juga tidak boleh mengeluarkan kata-kata kotor atau umpatan yang dapat menyebabkan bapantang itu gagal. 
2. Upacara Nabo’ Panyugu Tahutn
Upacara ini dilakukan untuk menetapkan lokasi pertanian dengan sembahyang di Panyugu untuk memohon keselamatan dan berkah yang baik. Hal ini dilakukan karena masyarakat Dayak Kanayatn parcaya 45 bahwa keberhasialan ritual dapat menentukan keberhasilan panen mereka tahun itu. 
3. Upacara Ngawah
Upacara ini dilakukan malam hari untuk mencari tempat yang cocok untuk menanam padi. Pencarian lahan dilakukan dengan cara 
mengetahui gajala-gejala alam seperti bunyi burung dan binatang yang dapat memberi petunjuk kepada mereka dalam menentukan lahan pertanian. Adapun binatang-binatang itu, seperti kunikng, kalingkoet, tampi’ seak, ada’atn. Jika terdengar bunyi di atas bukit, berarti pertanian di dataran tinggi akan berhasil (ladang), namun bila bunyi berasal dari lembah, maka hal itu merupakan tanda pertanian ladang akan suram. Bila ditemukan bangkai binatang di atas lahan pertanian, menandakan bahwa lahan yang sudah ditentukan itu baik untuk ditanami. 
4. Upacara Mandangar Rasi
Upacara ini dilakukan setelah upacara Ngawah. Upacara ini merupakan tanda bunyi dari alam yang menyatakan baik atau buruk hasil pertanian nanti (pesan rasi). Apabila pesan rasi dianggap baik, maka pekerjaan diteruskan, sebaliknya bila pesan dari rasi tidak baik, maka pekerjaan harus dihentikan. 
5. Kegiatan Ngaratas
Ngaras merupakan kegiatan membuat lajur batas atas lahan pertanian dengan lahan tetangga.
Setelah itu barulah bahuma (menebas) hutan sampai dengan selesai. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman dan agar tidak terjadi pengambilan batas tanah ladang orang lain. 
6. Nabakng
Nabakng adalah upacara menebang pohon setelah kegiatan menebas. 
Setelah itu dilakukan upacara baremah dengan membuat persembahan untuk Jubata, agar diperbolehkan memakai lahan pertanian atau ladang yang akan digarap. Bila ada pohon besar, maka pohon tersebut tidak ditebang, melainkan hanya dikurangi cabang-cabangnya. Orang Dayak Kanayatn percaya bahwa pohon besar biasanya dihinggapi burung tingkakok atau burung berkat padi yang menjaga dan menimbang buah padi, sehingga pada waktu panen nanti akan mendapat padi yang baik (berisi) dan melimpah. 
7. Ngarangke Raba’
Ngarangke Raba’ adalah upacara mengeringkan tebasan dan tebangan dalam beberapa waktu untuk kemudian dibakar. Sebelum dibakar dilakukan ngaraki’ yaitu membersihkan daerah sekeliling yang akan dibakar untuk pencegahan merambatnya api secara luas. Upacara ini dilakukan untuk meminta berkah pada roh pelindung sebelum pekerjaan selanjutnya dilaksanakan. 
8. Membuat Solor atau Jaujur
Upacara ini adalah upacara pembuatan tanda batas antara ladang milik sendiri dengan ladang tetangga agar jangan sampai terjadi kesalahpahaman karena kesalahan pemakaian batas tanah garapan. 
9. Upacara Batanam Padi
Upacara Batanam padi ini terdiri dari:
(a) Upacara Ngalabuhan, yakni upacara memulai tanam padi; 
(b) Upacara Ngamala Lubakng Tugal. 
Upacara ini dilakukan di sawah atau ladang secara intensif agar padi yang ditanam dapat tumbuh dengan baik, berhasil dan tidak diganggu hama; 
(c) Upacara Ngiliratn penyakit padi atau menghanyutkan padi-padi bekas gigitan hama maupun binatang ke sungai dengan maksud membuang sial (penyakit). 
10. Upacara Ngabati
Upacara ini dilaksanakan di tengah ladang pada saat hendak panen padi atau saat padi menguning. 
Upacara ini merupakan permohonan agar padi yang telah menguning tersebut tidak diganggu hama tikus dan agar semua padi berisi, sehingga bila panen tiba hasilnya banyak. 
11. Upacara Naik Dango
Upacara Naik Dango merupakan upacara inti dari beberapa tahapan upacara yang berkaitan dengan panen padi (pesta penen). Upacara ini merupakan upacara syukuran padi yang dilaksanakan masyarakat Dayak Kanayatn setiap setahun sekali pada tanggal 27 April. 
Pelaksanaannya dilakukan secara bergiliran setiap kecamatan, upacara ini merupakan upacara besar yang banyak melibatkan masyarakat dan kesenian di dalamnya.

Kamis, 07 Februari 2019

Sebelumnya berlandaskan agama Islam, telah ada sebelumnya sebuah Kerajaan Dayak yang sangat terkenal di Pulau Kalimantan. Oleh karena itulah, keberadaan kerajaan-kerajaan yang berada di Kalimantan Barat umumnya tidak terlepas dari cerita penduduk aslinya, yaitu Suku Dayak.
Nama kerajaan yang sangat terkenal dan berjaya pada saat itu adalah Kerajaan Bangkule Rajakng. Kerajaan Bangkule Rajakng ini dipimpin oleh Patih Gumantar, yang terkenal sangat gagah dan pemberani. Dibawah pemerintahannya, pusat Kerajaan Bangkule Rajakng berada di Sidiniang. Oleh sebab itu, kerajaan ini disebut juga sebagai Kerajaan Sidiniang.
Patih Gumantar memiliki seorang istri yang bernama Dara Irang, dua orang putra yang bernama Patih Nyabakng dan Patih Janakng, serta seorang putri yang bernama Dara Itam.
Kepopuleran Kerajaan Bangkule Rajakng tersebar hingga keberbagai daerah di Pulau Kalimantan. Karena kejayaan dan kemakmuran tersebutlah membuat daerah-daerah lain iri dan menjadi sumber malapetaka bagi Kerajaan bangkule Rajakng.
Hingga tibalah serangan mendadak ke Kerajaan Bangkule Rajakng yang dilakukan oleh Kerajaan Suku Biaju (Bidayuh). Meskipun Patih Gumantar terkenal sangat hebat dan pemberani, namun dengan serangan yang sangat mendadak tersebut membuat ia kalah. Kepala Patih Gumantar putus akibat dikayau oleh Orang Bidayuh.
Peristiwa tersebut terkenal dengan sebutan perang kayau (memenggal kepala manusia). Orang yang berhasil mengayau kepala musuh dipercaya bisa menambah kesaktian dan akan disegani. Apalagi kepala yang dikayau adalah kepala orang yang berpangkat atau memiliki kedudukan.
Terbunuhnya Patih Gumantar didalam penyerangan tersebut, membuat Kerajaan Bangkule Rajakng mengalami kehancuran. Beberapa abad kemudian sekitar tahun 1610 M, tumbuh lagi sebuah kerajaan dengan pusat pemerintahan berada di Pekana yang sekarang dikenal dengan Karangan (Terletak di Mempawah Hulu). Pada saat tersebut kekuasaan dipimpin oleh Raja Kudong atau Panembahan Tidak Berpusat. Menurut sejarah, Panembahan Kudong inilah merupakan raja pertama dari Kerajaan Mempawah.
Setelah Raja Kudong wafat, kekuasaan selanjutnya digantikan oleh Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan dari Patih Gumantar. Pusat pemerintahan kembali dipindahkan dari daerah Pekana ke daerah Senggaok yang berada dihulu Sungai Mempawah.
Panembahan Senggaok memiliki seorang istri yang bernama Putri Cermin. Putri Cermin sendiri sejatinya bukanlah asli penduduk setempat, melain merupakan anak Raja Qahar dari Indragiri, Sumatera.
Ketika Putri Cermin sedang mengandung, telah diramalkan oleh seorang nujum bahwa jika anak yang dilahirkan adalah perempuan, maka kekuasaan akan berpindah tangan ke suku lain. Ketika tiba waktu melahirkan, maka lahirlah seorang bayi perempuan dan diberi nama Mas Indrawati
Ketika dewasa, Mas Indrawati menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan. Seminggu setelah pernikahan, maka Sultan Muhammad Zainuddin kembali ke Kerajaan Matan dengan membawa Mas Indrawati yang telah dia nikahi. Dari sinilah mulai terjalinnya hubungan kekeluargaan antara Kerajaan Mempawah dan Kerajaan Matan.
Dari pernikahan Mas Indrawati dan Sultan Muhammad Zainuddin, lahirlah seorang putri yang bernama Putri Kesumba. Putri Kesumba bertemu jodoh dengan Opu Daeng Menambon yang merupakan seorang pengembara dari tanah Bugis. Sepeninggalnya Panembahan Senggaok, Kerajaan Mempawah dipimpin oleh Opu Daeng Menambon. Saat itulah sistem kerajaan yang semulanya bercorak hindu beralih ke sistem syariat Islam.
Pada masa pemerintahan seorang penguasa yang diperkenalkan dengan nama Patih Gumantar, Kerajaan Bangkule Rajakng (Sidiniang) ini berada dalam suasana kejayaan. Sehingga kerajaan lain, khususnya kerajaan tetangganya bermaksud merebutnya, khususnya oleh Kerajaan Biaju (Bidayuh) di Sungkung. Maka terjadilah peperangan kayau (memenggal kepala manusia, head hunting). Meskipun Patih Gumantar dikenal sangat gagah dan sebagai seorang pemberani, namun dengan adanya serangan mendadak, akhirnya Patih Gumantar kalah. Bahkan, kepalanya sendiri terkayau (dipenggal) oleh orang-orang Suku (Dayak) Bidayuh (Biaju). Maka, sejak kematiannya itu, dengan sendirinya Kerajaan Bangkule Rajankng mengalami kehancuran. Dan hilang dari peredarannya.
Beberapa waktu kemudian, diperkirakan dalam abad XVI, atau (ada sementara pendapat) sekitar tahun 1610 M, kerajaan ini seakan bangkit kembali. Meski tidak dengan nama semula, Bangkule Rajakng. Di saat itu disebutkan memerintah seorang penguasa otonom lokal yang diperkenalkan dengan nama Raja Kudong (ada versi lain menyebutkan panembahan Kudung). Adapun pusat pemerintahannya berada di Bahana atau Pekana (sekarang berada dalam wilayah Administratif Karangan Mempawah Hulu).
Hadirnya kerajaan, Kerajaan Pekana atau Bahana, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Patih Gumantar atau pun dengan kerajaan terdahulu, Bangkule Rajakng. Setelah Raja (Panembahan) Kudung mangkat, pemerintahan dilanjutkan oleh Panembahan Senggaok atau Panembahan Sengkawuk (ada versi lain menyebutnya Senggauk) yang pusat kerajaannya berada di daerah Sengkauk hulu Sungai Mempawah sekarang. Namun demikian, ada sumber lain yang mencatatkan, bahwa jauh sebelum memerintahnya Patih Gumantar maupun Panembahan Sengkawuk, pernah pula memerintah seorang penguasa otonom lokal atau seorang raja bernama Patih Rumaga. 
 Pusat pemerintahannya berkedudukan di Bakana, yang belakangan disebut dengan Pekana (di Kecamatan Karangan Mempawah Hulu sekarang). Kerajaan inilah yang semulanya dikenal dengan nama Kerajaan Bangkule Rajakng tadi.
Keturunan Patih Rumaga adalah seorang yang gagah perkasa dan inilah yang diperkenalkan (terdahulu tadi) dengan nama Patih Gumantar. Patih Gumantar merupakan pengganti Patih Rumaga sebagai raja bangkule Rajakng dengan ibukotanya di Bahana. Dalam hidupnya, Patih Gumantar disebutkan beristri seorang putri jelita yang bernama Dara Irang. Mereka dikaruniai dua orang putra, keduanya masing-masing bernama Patih Nyabankng (Patih Ngabang atau Patih Ngabakng) dan Patih Janakng. Di samping itu, mereka juga mendapatkan seorang putri, yang menurut empunya cerita, putri mereka itu diberi nama Dara Itam. (Catalan penulis: Dara Itam ataupun Dara Irang yang dimaksudkan di sini, adalah berbeda dengan Dara Itam yang diperkenalkan dalam sejarah awal pertumbuhan Kerajaan Landak. Dara Itam dalam sejarah Landak berasal dari Kampung Kumia daerah Sepangok kawasan Sungai Tenganap atau Air Besar sekarang).
Patih Gumantar kemudian mendirikan pusat kerajaan yang baru di sebuah kaki bukit yang bernama Bukit Kandang. Sejak itulah Kerajaan Bangkule Rajakng berganti nama menjadi Kerajaan Sebukit atau Sebukit Rama. Setelah Patih Gumantar mangkat dan dimakamkan di bukit itu, ia digantikan oleh putranya yang bernama Patih Ngabang (Patih Ngabang atau Panembahan Ngabakng). Kemudian setelah Patih Ngabang wafat, ia digantikan oleh putranya yang bemama Patih Sengkawuk. Pada masa pemerintahan seorang penguasa yang diperkenalkan dengan nama Patih Gumantar, Kerajaan Bangkule Rajakng (Sidiniang) ini berada dalam suasana kejayaan. Sehingga kerajaan lain, khususnya kerajaan tetangganya bermaksud merebutnya, khususnya oleh Kerajaan Biaju (Bidayuh) di Sungkung. Maka terjadilah peperangan kayau (memenggal kepala manusia, head hunting). Meskipun Patih Gumantar dikenal sangat gagah dan sebagai seorang pemberani, namun dengan adanya serangan mendadak, akhirnya Patih Gumantar kalah. Bahkan, kepalanya sendiri terkayau (dipenggal) oleh orang-orang Suku (Dayak) Bidayuh (Biaju). Maka, sejak kematiannya itu, dengan sendirinya Kerajaan Bangkule Rajankng mengalami kehancuran. Dan hilang dari peredarannya.
Beberapa waktu kemudian, diperkirakan dalam abad XVI, atau (ada sementara pendapat) sekitar tahun 1610 M, kerajaan ini seakan bangkit kembali. Meski tidak dengan nama semula, Bangkule Rajakng. Di saat itu disebutkan memerintah seorang penguasa otonom lokal yang di(per)kenal(kan) dengan nama Raja Kudong (ada versi lain menyebutkan panembahan Kudung). Adapun pusat pemerintahannya berada di Bahana atau Pekana (sekarang berada dalam wilayah Administratif Karangan Mempawah Hulu).
Hadirnya kerajaan, Kerajaan Pekana atau Bahana, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Patih Gumantar atau pun dengan kerajaan terdahulu, Bangkule Rajakng. Setelah Raja (Panembahan) Kudung mangkat, pemerintahan dilanjutkan oleh Panembahan Senggaok atau Panembahan Sengkawuk (ada versi lain menyebutnya Senggauk) yang pusat kerajaannya berada di daerah Sengkauk hulu Sungai Mempawah sekarang.
Namun demikian, ada sumber lain yang mencatatkan, bahwa jauh sebelum memerintahnya Patih Gumantar maupun Panembahan Sengkawuk, pernah pula memerintah seorang penguasa otonom lokal atau seorang raja bernama Patih Rumaga. Pusat pemerintahannya berkedudukan di Bakana, yang belakangan disebut dengan Pekana (di Kecamatan Karangan Mempawah Hulu sekarang). Kerajaan inilah yang semulanya dikenal dengan nama Kerajaan Bangkule Rajakng tadi.